![]() |
Teluk Youtefa. Foto; Freddy Pattiselanno |
Oleh: Alfonsa Wayap
LUMPUR pekat di sepanjang jalan utama Pasar
Youtefa, Abepura, setinggi mata kaki, membalut telapak kaki bocah lelaki,
berkaos oblong kuning. Ponge, murid kelas V SD Vim, Kotaraja, terus menyusuri
jalan yang tergenang air dari rembesan parit di sekitar pasar. Kawasan yang
dahulu dusun sagu milik suku Injros dan Tabatji.
Hari
sudah siang, sekitar pukul 02.30. Matahari sudah condong ke barat. Cuaca agak
mendung.
Tak
jauh dari parit yang merembes, seorang perempuan penjaja di pasar duduk
bersilangan kaki menghadapi benda-benda yang ditumpukkan. Kepala perempuan
berbaju hijau itu terbungkus kain hitam, kusut.
Ia sedang menunggu. Singkong, keladi, jantung pisang, sayur lilin,
dijejerkan dekat selokan yang tergenang air.
Ponge
berhenti sejenak tak jauh dari tempat si perempuan.
“Seribu-seribu!”
ucap petugas retribusi pasar, sambil menyobek dan menyodorkan secarik karcis
kuning kepada perempuan itu.
“Pace, ko bisa sabar sediki-ka? Sa baru turun
dari Koya; sa baru jualan. Sa pu jualan belum ada yang laku, ko su datang
tagih,” gerutu perempuan itu.
“Iyoo,
mace. Maaf ee…sa tra ta’u jadi, jawab pace
petugas.”
“Siang-siang
sedikit-ka, baru ko datang,” balas si mace.
<><><>
Ketika
itu, Senin, 31 Desember. Hujan deras yang mengguyur semalam menyebabkan lokasi
Pasar Youtefa becek. Arus kendaraan tersendat. Jalan satu jalur di dalam pasar
tak lagi diindahkan para pengguna. Sepeda motor dan pejalan kaki saling
mendempet dalam dua baris di jalur itu. Seperti biasa, pemandangan macet
tersuguhkan lagi.
Tebaran
sampah buangan dari kali Acai yang melintasi pasar ini seakan berebutan merusak
pemandangan sekitar. Apabila datang hujan, berkilo-kilo aneka jenis sampah
terseret menuju Teluk Youtefa. Sebagian dari sampah akan tumpah-ruah (akibat
limpahan air) dan berserakan di kawasan pasar. Sebelum menyebar ke teluk,
sampah-sampah akan termuntahkan di depan dermaga kecil dekat pasar—termasuk
seputar gundukan batu yang disebut “Batu Anjing” di sebelah dermaga, tempat
Ponge biasanya memancing. Disebut Batu Anjing, karena bentuknya yang menyerupai
anjing.
Jarak
Pasar Youtefa tak jauh bibir pantai Teluk Youtefa. Dermaga Youtefa terletak
sekitar 100 meter dari pasar. Dermaga kecil ini merupakan tempat penyeberangan
penduduk Injros dan Tabatji. Mereka berlalu lalang dengan mengayuh perahu kecil atau menumpang
perahu bermotor tempel atau speedboat.
Ponge
baru saja turun dari memancing di Batu Anjing sejak siang tadi. Batu ini
terletak di arah utara dermaga, di bawah tebing.
Matahari
mulai muram, menunjukkan sudah pukul 04.00 sore. Hanya tiga ekor bobora kecil
yang didapat Ponge.
Tonci,
seorang pemuda, sedang mangkal di dermaga Youtefa. Sesaat matanya terpaut pada
si bocah. “Ade, ikan itu ko jual-ka? tanyanya.
“Ah,…
trada kaka, sa mo bawa pulang,” jawab Ponge.
Dance, teman sekelas Ponge yang juga sedang duduk berderet
di dermaga, sedikit
meledek. ”Bah, masa ko dapa ikan sedikit begitu!”
“Iyo, to!
Mo dapa banyak bagemana, tinggal gaet-gaet plastik t’rus…!”
Omongan
kedua bocah itu menggelitik Mama Oce yang sedang menunggu perahu penumpang ke
Kampung Injros. Menyapa kedua anak itu,
Mama Oce berkata: Dulu, di tahun 80-an, waktu mama kecil seperti kam
dua, Batu Anjing, itu tempat mama pancing ikan dan molo udang laut.
Kalo
dulu, satu kali “tikam kepala” (menyelam), “t’ra pake jam” (tidak lama),
cuma menit (sebentar) saja, tempayan su penuh. Pulang, su bisa
bikin papeda dan kuah kuning,” kenang Mama Oce.
“T’rus, dulu
mama dorang tokok sagu di mana?” tanya Dance “Oh, tempat Pasar Youtefa sekarang, itu dulu dusun
sagu; itu rawa-rawa,”jawab Mama Oce.
<><><>
“Tapi,
sekarang banyak plastik eee?” kata Mama Oce seraya memandangi air teluk.
“Sekarang,
cari ikan sampe mata merah (berusaha keras menangkap ikan) juga tra dapa apa-apa (tidak
mendapat hasil). Kitong cuma bisa ketemu plastik hanyut dan plastik
tenggelam.”
“Iyo, mama. Tadi sa buang nelon (lempar tali senar), tapi tagae
(tergaet) deng plastik (kantong kresek) t’ruus… ! balas Ponge.
Tiap kali lempar umpan, bukan ikan yang sambar, tapi plastik yang tasangkut.
‘Teluk Plastik’, kapa (mungkin)?”
“Ba, ko,
belum ta’u-ka? S’karang ini, banyak jenis ikan baru.”
“Ikan-ikan
apa itu?”
“Ikan
kaleng, ikan plastik, ikan botol, ikan tali poro, ikan orok, ikan babi,” jawab
Dance.
<><><>
Biar
cuma dapat tiga ekor bobara kecil, Ponge gembira. Bisa untuk lauk sebentar
malam. Satu untuk dirinya, “satu buat ade (adiknya) Leno. Bapa deng Mama
biar bagi yang agak besar”.
Ponge
sebenarnya berharap dapat hasil lebih untuk ia jual di pasar. Ia ingin sekali
menyaksikan Konser “Simponi Kehidupan” yang akan menampilkan dua penyanyi tenar
Papua Edo Kondologit dan Nowela Auparay, malamnya, di Auditorium Universitas
Cenderawasih.
Roni,
rekan Ponge, sudah mendapatkan tiket masuk seharga Rp 50.000. Apa mau dikata,
keinginan Ponge menyaksikan konser tak kesampaian. “Padahal, sa mau s’kali
nonton Kaka Edo dan Kaka Nowela tampil. Dong dua, itu
penyanyi Komin (Papua) yang sa paling suka. Kalau dong dua
tarik suara ituuu… suittt…suittt! Sirbe! “
“Ponge,
kapan ko pigi mangail lagi? tanya Roni.
“Kawan,
ko su ta’u baru. Tadi kitong ada baku cerita sama Mama Oce:
Sekarang ini, ada macam-macam ikan di teluk. Jadi, sa musti cari tampa
mangail baru; mungkin di bawah gunung Mermoh (di bawah Wihara Buddha), di
Skyline-ka?
“Iyo,
sudah ee, kawan, baku ketemu lagi!”
Bertelanjang kaki, bocah bercelana hitam dan berkaos
kuning bertuliskan
“Sa Papua”, itu menyusuri tepian hutan bakau, menenteng tiga ekor bobara
kecil, menuju Kompleks Perumahan Melati di Kotaraja.
TeluYoutefa,
dulu dijuluki “Gadis Molek”, karena keindahan panoramanya. Kini, si “Gadis
Molek” yang tak bercela itu sudah bersaling rupa menjadi si “Gadis Molek
Bergaun Plastik.”[]
Waena, 20 Februari 2015-Penulis, Jurnalis di Jayapura.

0 comments:
Post a Comment